Posts

Showing posts from 2020

Pulang

Aku lupa jalan pulang. Lupa kapan terakhir kali mencium tangan kedua manusia paruh baya itu. Setiap libur kerabatku bertanya "akankah pulang?" Untuk jawab yang kesekian, kurasa, lontaran tidak masih saja kugumamkan. Kerabat lainnya bertanya diminggu berbeda, "kapan bersua?" "Aish" jawabku sekedar dumalan membosankan. Bukan tak diagendakan tentang temu, atau bukan tak lagi merasakan rindu. Aku hanya tengah berpacu dengan ego, delusi, dan juga beban moril yang belum bisa ku tanggung sepenuhnya

Wangi Malam Minggu

  Aku memberdayakan delusiku Kutuntun sengaja pada jiwa hausku Untuk kembali membawa harum wewangian malam minggumu   Kau manis Senyummu menampik tak sengaja dalam jiwa Hingga sewaktu-waktu aku lupa, senyummu terpajang apik dalam bingkai jendela   Kau manis Basa-basimu terekam tak tahu bagaimana Sampai sewaktu-waktu luka, aku spontan lupa caranya kembali nelangsa  

Mimpi

Image
Perihal yang telah menjadi dan termasuk ke dalam diri,  bukan tanpa peluh, bukan tanpa keluh, bahkan bukan tanpa sesak sesekali. Tentang cinta yang katanya punya konsekuensi, tak terkecuali pun dengan mimpi. Realisasinya sulit dieja, beberapa prosesnya kadang susah diterka. Satu hal membuat melambung, satu lainnya membuat murung. Maka, jika tekad tak begitu kuat, menyerah akan gampang mendekat. Jika serah tak lagi banyak, pasrah akan membuat tercekat. Namun, pada jiwa yang mulai lelah menggapainya. Istirahatlah! Tak perlu mencari alasan lebih untuk bertahan dari biasanya. Istirahatlah! Beri jeda pada hati yang ingin menyerah. Istirahatlah! Lalu tanyakan kembali langkahmu sejauh ini untuk apa. Istirahatlah! Lelahmu harus dikikis secepatnya. Istirahatlah! Sampai esok kau temui kembali matahari, kembalikanlah tekadmu seperti awalnya. Sebab mimpi tak akan pernah terealisasi bagi manusia yang kembali menutup diri. Jakarta Barat, 10 Oktober 2020

Sebatas Dengar Tak Mampu Menyekat Pandang

Image
  Baru selang seminggu kudapati kata-katamu yang tak sempat ku dengar penuh. Cernaanku tentang apa-apa yang berujung kubaca via pesan whatsapp , lambat laun menarik gundah. Rasa-rasanya kita perlu jeda. Namun, pada perkara penyampaian yang ku anggap guyon, kamu amat bisa mengembangkan rasa tidak nyaman. Padahal wujudmu sama sekali tak mengikuti. Pikirku berpendar kemana-mana, mengagungkan jawab yang berujung sia-sia. Semakin diterka, semakin mati asa yang ada. Dibiasakan untuk pura-pura lupa, bersalah malah makin membuncah. Barang kali kemarin itu aku dibenarkan oleh situasi, maka tanpa dosa menggeleng dengan iya. Yang tak habis pikir, paradigmamu selalu kutuntun pada dia yang dituju. Namun kali ini ku tahu, sebatas dengar tak mampu menyekat pandang. Memang, kita tak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa, tapi pengharapan yang amat sangat, semoga dirimu menemukan dia yang sama-sama tertambat.

Menyarahlah!

Saat alasan kau eja dengan iya, terikat kita tak akan lagi ada.   Menyerahlah! Jangan lagi mencoba.  Berpuralah baik saja! Tak perlu lagi banyak tanya. Ambil alih tempatku dengan paksa.  Cepat! Gantikan dengan yang lebih betah. Lalu, tutup rapat-rapat tanpa perlu sisa. Hingga akhirnya kita berangsur mereda, melupa, dan kembali menjadi biasa saja. 

Aku Ingin Pulang

  Aku ingin pulang,  Mengendus wangi aroma tubuhmu yang bingar Bersemayamlah dalam mimpi ! Seorang anak gadis tengah balas dendam dalam tidur Aku ingin pulang,  Mengembalikan remuk redam yang mulai menyerang Bilamana kau temui aku dipelupuk mata Jangan tanya mengapa ! Lantas aku akan sesenggukan Aku ingin pulang,  Melihat keluguan samar-samar dibayangan Dekaplah aku kepangkuan !  Tak perlu banyak kata, mulailah perdengarkan irama Aku ingin pulang,  Mendengar kisah yang tak bisa dilibatkan Teruslah berkisah !  Nina bobokan aku dalam setumpuk bait per baitnya Aku ingin pulang,  Menatap lamat-lamat sampai lepas yang terikat Aku ingin pulang,  Menumbuhkan seribu benih yang salah satunya telah dimatikan Aku ingin pulang,  Mengisi kembali api yang tak sengaja dipadamkan

Halu

 Ada yang menggebu dibatas halu Dihantarkannya rasa dengan dicumbu cemburu Yang kalah tetap aku Yang membinasakan adalah waktu Lamat-lamat bersarang lama tak tentu Kamu bukan lagi jelmaan yang menjeda Saat ini membatas adalah ciptamu Tak lagi kenal pulang apalagi bersarang Diyana malah melupa Dilupa malah kembali menjelma Bukan sekelumit yang dipunya Balik arah adalah akhirnya Bilang iya, tegaskan tidak!  Tak boleh lagi A jika sekejap mata Bukan lagi jangan dengan siksa Tapi pasti yang dinanti tak perlu lagi drama

Ceritakan Padaku!

Dipanggilah Ia oleh seorang Bapak, “Nak” katanya. Lelaki yang kamu sebut Bapak lama mencerna, mendelik-delik mata tengah menjabarkan kata. Beliau terlampau bingung menjabarkan kenyataan pada anak gadisnya. Gadis lucu sekaligus lugu pada masanya. Padahal gadis itu telah menjelma sebagai manusia kepala dua, namun Bapak tak serta merta membuatnya iba.   “ada apa?” tanyamu seketika. Bapak masih saja mengap-mengap, tak kunjung diterima apa-apa yang pas untuk buka suara. Lantas kamu ikut diam menerka-nerka. Ada apa? Ada apa? Katamu mengulang tanya tanpa suara. Lama waktu berlalu, Bapak menepi jarak pada kursimu. Tangan besarnya kini mengusap-usap rambutmu, lembut dengan kasih sayangnya yang penuh. Lalu perlahan Bapak berkata , “Nak, apa-apa yang tidak lagi bisa kau ceritakan pada Ibu, ceritakanlah padaku!”

Delusi Waktu

Image
Setelah tertambat mengapa diukir luka dengan teramat? ……. Teramat bosan dengan kata yang diulang seperti lagi-lagi, namun ternyata cara kerjanya memang begitu. Lagi-lagi manusia hanya perlu mengasihani diri, perihal yang dirasa, soal yang dimau, tentang apa-apa yang tak lagi bisa menunggu. Mengasihani diri dengan cara menanyakan hati, apa yang benar-benar tengah ditunggu atau malah sekedar menjadi delusi sekelumit waktu. Mengerti diri dengan bertanya pada cerminan hati, mengapa tak lepas apa-apa yang kau bilang ikhlas. Tak perlulah berpura-pura tak ada yang dirasa, duhai diri. Jika makin tercabik, berontaklah! Tak apa sehari ini kau lelah dengan isak tangis. Tak apa siang ini sendumu mengais-ngais. Tak apa. Dan pada diri yang sedang ditemani tangis, tanyakan ini. “mengapa setelah tertambat lukamu makin teramat?” Sisi lain dari egoisme manusia adalah penyalahan atas diri Diri yang telah semena-mena menaruh hati Ha...

Antara Juni dan Juli

Juni mengasihani Juli diberkati Antara keduanya, tak sama dalih Juni merelakan Juli hanya tinggal mengenang Antara keduanya, seharusnya tak lagi menakutkan Juni mengais-ngais Juli tak lagi bengis Antara Juni dan Juli tak lagi patut jadi sebaris

Ayah.

Image
Beliau ayahku, foto ini adalah foto pertamaku dengannya yang hanya berdua saja. Beliau berasal dari Suku Sunda. Usia Beliau telah lewat dari setengah abad, dan Ia adalah seorang ayah dari ketiga anaknya. Dan aku merupakan salah satu dari ketiganya, atau bisa juga dikategorikan sebagai anak tunggal perempuannya. Kubenarkan kata-kata manusia yang berceloteh jikalau "anak perempuan akan lebih condong pada ayahnya". Ya, kebenarannya begitu, terkhusus untuk diriku sendiri. Aku cenderung banyak bicara padanya, bertukar pesan secara tersirat lewat candanya, menukar cemas dengan lukisan tawanya, hingga mengelabui lelah dengan guyonan-guyonannyah. Ya, itulah Ayah. Lelaki amat perasa pada apa-apa yang salah atas diri adalah Ia. Beliau cinta pertama anak perempuannya. Yang mendadak marah saat hal-hal yang dilarangnya tak diserap dengan mengiya. Yang mengganti raut wajahnya saat aku meluruskan pandangnya. Yang menentang sesuatu yang mulai mustahil untuk...

Diskusi Pendewasaan Diri

Pada akhirnya dewasa dipelajari, pemahaman ditumbuhkan, dan ikhlas ditanamkan. Terima kasih untuk penyelesaian tanpa pertikaian, untuk segala yang tumbuh namun tak lantas ditumbangkan, untuk patah yang berbeda sudut pandang. Terima kasih untuk turut andil dalam diskusi pendewasaan diri. Tujuannya bukan menjarak, hanya untuk menjeda agar semestinya tumbuh tak lagi mudarat. Walau setelahnya belum tentu melebur dengan delusi yang telah diatur, namun sepatutnya doa-doa tak boleh luntur. Walau banyak tapi-tapi yang ditakut, namun semoga tak menghilangkan indahnya dari sesuatu yang dimaksud. Kalideres, 3 Juni 2020

Terima Kasih..

Semesta tak lagi sama Aku tak lagi diterimanya dengan lapang dada Jelmaanku hanya sekelumit penghibur saat dunianya tak ada Aku bak peserta kompetisi tanpa prestasi apa-apa dimatanya Aku ragu, lalu nekat, namun tercekat Aku menunggu, lalu berdamai, namun tak lagi tentram Aku khawatir, lalu bertanya-tanya, namun tak lagi mendapat jawab Terima kasih telah meredupkan harap Terima kasih telah menyemangati walau sebatas kemarin hari Terima kasih atas cemas yang tak lagi ditumbuhkan dengan deras Terima kasih atas tawa yang telah dibagi meski sebatas basa-basi Terima kasih..

Asing.

Gema takbir mendayu-dayu dari surau ke surau, macam-macam suara tabuhan beduk mengiringi.  Namun hari raya ini amat asing, Ma!  Aku-kamu terkungkung batas yang tak boleh dilintas Aku-kamu pada negri antahberantah, menjamu yang tak akan bertamu Hari raya ini amat berbeda, Ma!  Namun, meski berjarak semoga tak akan hilang setitikpun hidmat atas permintaan maaf Begitupun semoga tak akan berkurang sukur kita atas segala nikmat Dan semoga pandemik ini berakhir dengan cepat Agar aku-kamu-kita kembali meraih kemenangan dengan selamat. Minal Aidhin Walfaidzin Mohon Maaf Lahir & Batin Yusliani as & keluarga

B sampai D

Aku mendapat banyak pelajaran hari ini, pelajaran hidup dan pelajaran menghadapi hidup.  Pelajaran dari seorang kawan lama yang tak lagi berkabar, nyatanya pertemuan kami amat manis. Ditengah-tengah hangatnya Ramadhan yang sudah menemui akhir, kami berbincang tentang perkara mengenai B sampai D. Ya, cukup B sampai D saja. Dari Birth-Choose-Death . Dari banyaknya huruf-huruf alphabet yang sering kita eja, hidup manusia hanya sebatas digambari dengan tiga huruf saja.  B untuk fase manusia saat dilahirkan,  C fase saat manusia membuat pilihan,  dan D adalah akhir perjalanan dunianya. Sampai sini aku sadar, apa yang perlu dibanggakan dari hidup sesingkat B sampai D? Apa yang perlu kami –sebagai hamba-Nya—agung-agungkan? Bahkan untuk fase D yang akan kita lewati, apa yang telah dipersiapkan?

AKU MENGHARDIKMU!

Belakangan ini aku mendumalkan seseorang yang mangkir dari kewajibannya. Sekilas, jika dipikirkan ini adalah hal sepele untuk sebagian orang-orang tertentu. Termasuk aku, tapi sebelum kurun waktu sabarku mulai terkikis. Jadi, minggu kemarin aku menagihmu perihal janji yang kau buat sendiri dua hari sebelumnya. Namun tak ku sangka responmu tak mengenakkan, seolah-olah aku menghardikmu atas apa yang tak kau tahu. Sampai kau beberkan segala sesuatu yang tengah kau rasakan yang seakan aku terlalu kejam untuk hanya sekedar menanyakan janji itu. Hingga perlahan aku mulai membaca situasi, bahwa manusia-manusia yang mengasihani diri adalah manusia yang mampu bertanggung jawab atas hak-hak orang lain tanpa cemas berlebih dengan situasinya sendiri. Kalideres, 07 Mei 2020 @yusliani_as

"Halo" sapamu #2

Akhir-akhir ini ada beberapa hal yang membuatku mencondongkan asa pada setiap ulahmu, pesan singkatmu, bahkan kabar sosial mediamu. Tiga hari berturut-turut lebih dari cukup untuk kamu menarik perhatian dari asaku. Tiga hari berturut-turut telah lebih dari sekedar gila aku dibuatmu. Tahun lalu, aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang sibuk dilanda kegamangan perihal judul, pendahuluan, tinjauan pustaka, isi, kesimpulan serta kawanannya dari penyusunan tugas akhir. Ditengah hiruk pikuk penyusunan yang berujung dengan revisi-revisi lagi, Ku taksir mungkin satu bulan sebelum akhirnya sidang, kamu menanyai kabarku lewat pesan whatsapp. Aku lupa pendahuluannya bagaimana, yang ku tahu, setelahnya malah berlanjut pada tiga hari berturut-turut yang ku jabarkan sebelumnya. Setelah hanya sekedar basa-basi menanyai kabar, berhari-hari kemudian kamu akhirnya mulai memberanikan diri untuk berbicara denganku via panggilan whatsapp, tentunya dengan meminta izin terlebih ...

Kau dengarlah! #1

Bukan karyamu yang ku dengar berulang-ulang, namun lagu yang kau suka pada masa awal debutnya yang berulang kali ku dengar.  Aku ini manusia yang dalam gegap gempita adalah terpenjara dalam gua. Jadi, aku sama sekali tak tahu dengan karya luar biasa itu, kau sebagai manusia yang tidak ketinggalan zaman pada dunia permusikan memberitahukan aku. "Kau dengarlah!" perintahmu begitu Sambil menatap layar gadget yang didalamnya ada dirimu dengan seksama, aku diam-diam tenggelam dalam alunannya. Itulah awal mulanya!  Awal mula aku terlalu percaya diri bahwa engkau menaruh hati. Awal mula aku meyakini mulai terjerat dalam asa yang harapnya kuamin i.

Tidak Baik-Baik Saja

Dibawah langit Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Aku menulis ini sebab sendu dengan yang tengah kita rasa, pandemik yang semakin hari semakin pelik belum juga usai. Apa-apa yang awalnya sekedar himbauan hari ini menjadi tegas untuk dilakukan. Yang mulanya dirumah saja hanya diberlakukan dua pekan kini diperpanjang sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Belajar terhalang, jualan terhambat, kerja menjadi sulit, rencana jadi wacana, penantian makin tertunta, hingga apa-apa yang biasa menjadi langka. Tuhan, selesaikan tugas pandemik ini dengan segera Kami ingin memulai Ramadhan dengan kembali ceria Menyambut hangat gema-gema adzan didalamnya Menanti tarawih yang ingin kami kerjaan bersama-sama dan menyambut gema takbir penuh suka cita.

Sekedar Tamu

Image
Hari ini tempatku berada banjir air mata Semesta berhasil mengejutkan kita Tak beri aba Tak beri kami jeda Semesta berhasil memporak poranda Hari ini kami memaksa melepas Walau berkali-kali menghela napas mencoba mengikhlas Namun tetap saja, waktu tak pernah mau tahu Padahal bait-bait sahdu belum selesai beradu Ohiya, setelah lama bersatu kami luput jika kami sekedar tamu Sampai pada penghujung waktu Kami hanya saling mengucap "Jangan sendu!" "Sedih ini akan berlalu" Pun jua "Kami akan kembali bertemu" Mesti tahu ucapan itu sekedar penghibur kelu  Kalideres, 23 Maret 2020

Terlalu Dini

Hari ini berbeda Disini tak sekalipun sama Tak pula punya isi untuk bicara Itu-itu saja Hatimu kepalang mati bukan? Bobotmu kepalang membuat bosan Ayolah berhenti.. Bumi tak hanya seluas pelupuk matamu Tak nampak bukan berarti berhenti Biarkan saja semestinya Tugas kita hanya menyambut sisanya lalu menyiapkannya Ayolah berhenti... Kita sebatas manusia, kehendak-Nya tak selalu bisa dijamah Bukankah janji Tuhan ialah pasti? Jadi mengapa engkau berkehendak terlalu dini, duhai diri?