Posts

Mimpi

Pada tulisan sebelumnya yang menyinggung tentang seorang lelaki yang telah hampir delapan tahun bersama, kemarin malam lelaki tersebut menelpon saya. Tidak seperti biasanya. Bahkan saya masih tak percaya sampai beberapa menit percakapan bergulir. "Tumben" gumam saya padanya saat kemarin. Tak kepalang penasaran dengan tujuan yang Ia maksud. Beberapa kali saya menanyakan tentang hendak kemanakah percakapan ini berlabuh. Hingga  rasa penasaran saya terus membuncah dan saya terus mendesaknya, Ia akhirnya mengatakan sesuatu. Maksud dan tujuan selain menanyakan kabar adalah ia bercerita bahwa ia akan bepergian pada waktu dekat ini. Kau tahu bukan kawan, yang paling menyebalkan dalam bermimpi adalah mimpi tersebut direalisasikan oleh orang lain. Sebelum pada inti pembahasan yang dikemukakan lelaki tersebut saya ingin mendeskripsikan maksud dari kalimat itu. Saya memimpikan ingin sekali berkunjung pada beberapa tempat yang saat SMA lalu hanya sebatas saya baca dari novel. Tempat ters...

Seorang Lelaki

Hari ini sengaja untuk menulis dijam-jam segini. Ini adalah jumat terlapang saya setelah minggu-minggu lalu, namun masih seperti biasa dengan segala list pekerjaan yang sudah mulai tidak menumpuk. Malam ini akan ada satu pekerjaan yang sepertinya akan membuat saya begadang atau mungkin bahkan tak tidur hingga pagi. Tapi tak apa, karna ini adalah awal permulaan kabar baik selanjutnya. Semoga, dan selalu saya doakan agar Tuhan mau mempercepat prosesnya. Ya, semoga. Setelah banyak drama melankolis yang membuat menye-menye dan menyebabkan beberepa kali kejatuhan air mata, akhirnya ini berbuah baik. Namun permasalahannya kali ini adalah saya ingin sekali mengabarkan hari baik ini kepada seseorang disana. Seseorang yang kurang lebih telah ada selama tujuh taun terakhir dalam hidup saya. Dia adalah seorang lelaki. Seorang laki-laki yang tak pernah serius mengurusi dirinya sendiri. Seorang lelaki yang teramat sibuk membahagiakan keluarganya. Seorang lelaki yang tak pernah sampai hati untuk sek...

Aih, Manusia

Banyak sekali pelajaran untuk hari ini. Mulai dari tentang manusia yang semakin dilena oleh teknologi. Hmm mungkin kata diperbudak bahkan pantas untuk disematkan pada manusia jaman ini. Tak terlepas dari latar generasinya.  Mengapa sekasar demikian? Ya, beberan kata-kata yang ditulis indah, informasi yang ketik dengan lengkap, bahkan gambar dengan keterangan yang dikemas baik tak khayal hanyalah sekedar dekorasi. Dekorasi tersebut hanya sebatas penambah gengsi laman sosial medianya, sebagai tanda banyak manusia mengenalnya. Padahal mungkin tidak begitu adanya. Keasikan di perbudak segala macam kemudahan, lantas pagi ini saya mendapat pertanyaan tentang postingan status terbaru. Status tersebut adalah lowongan pekerjaan dengan berisikan informasi lengkap dan detail mengenal syarat dan ketentuannya. Jelas sekali kata-kata yang ditekankan diketik dengan jenis huruf bertanda bold. Namun, masih saja ada pertanyaan tentang "dimana kah itu?", "Untuk laki-laki atau perempuan kah...

Sebentar

 Penutup hari ini cukup menyebalkan, listrik di lingkungan indekos saya mati. Alhasil, malam dengan kegelapan yang nyata. Lebih sialnya, tak ada kipas portabel untuk sekedar meniup sehelai rambut pun. Ibu kota lebih terasa kejamnya saat seperti ini. Ohiya, bukan itu yang hendak saya tulis kali ini. Saya ingin menyinggung sentimental apa yang hendak berpendar di ruang kecil kepala ini. Beberapa Minggu ini terlalu banyak bug yang diterima diluar kendali diri yang sangat menyudutkan. Akarnya mungkin ini tentang permintaan seseorang yang paling mencintai saya. Dia menyarankan saya untuk melakukan sesuatu yang saya telah menyerah didalamnya. Yang ambisi saya tak lagi menggubrisnya. Saya masih belum menentukan sikap atas apa yang dikehendakinya tersebut karena saya masih berada pada ambang antara paham dan tidak dengan maksudnya. Namun, mungkinkah ada baiknya saya melakukan sarannya?  Jawabannya pasti begitu, coba saja dulu. Tapi baiklah, namun ijinkan saya beristirahat, sebentar sa...

Pura-pura Tak Sengaja

 Aku bisa saja mewujudkan beribu-ribu temu denganmu, meski tak lama. Seperti pura-pura tak sengaja bertemu di angkutan umum, bahkan dibeberapa tempat yang kamu bagikan di laman sosial mediamu. Tapi, perihal pesan singkatmu yang tak kunjung menunjukan itikad baik, aku urungkan niat untuk "Pura-pura Tak Sengaja" itu. Ohiya, pikiranku jadi tertarik pada analisismu terhadap pertanyaan soal temu yang ternyata benar, kamu hanya sedang bertanya, begitu pun dengan jawabku yang semena-mena, hanya aku yang punya motif diantara rentetan kalimatnya. Mempunyai praduga atas sikapmu adalah perihal bodoh. Pertanyaan soal kabar, pernyataan yang membuncah asa, candaan yang membuat rona, sebagiannya mungkin hal lumrah bagimu, begitupun awalnya denganku. Namun, lambat laun aku meyakininya dengan perspektif berbeda, mesti baru hari-hari ini kutahu, itu tidak berlaku padamu. Tidak sedikitpun merubah stigmamu. dan kali ini pun aku sedang memilih untuk menjadi sadar. Terima kasih sudah menjadi setit...

Kata Klise dan Basi

Jika hari ini masih tak ada kabar baik, tak perlu riskan atau gusar.  Walau kalimat "Kita punya rencana, Tuhan yang mewujudkan" adalah bentuk motivasi paling klise dan basi. Namun, sepertinya beberapa hal selalu berujung membenarkan. Seperti halnya jika kamu mengingat tentang kemarin, saat kamu tertatih-tatih menahan peluh, sakit, remuk redam mewujudkan apa yang hari ini ada. Kamu lagi-lagi secara tak sadar mengiya, kan? Sama dengan kalimat "akan indah pada waktunya". Begitu jengah kamu mendengar motivasi amat klise itu, dimana-mana sembarang orang terlalu sering melontarkannya. Tak perduli putus cinta, putus cita, putus harap, putus asa, bahkan mati perasa. Manusia terlalu banyak bersandar pada kalimatnya. Tapi apakah kamu tahu tentang sesuatu yang belum terlalu matang kamu pikirkan? Kadang mungkin bukan hanya kamu tapi juga saya, adalah pernahkah kamu benar-benar bertanya "Sudah sekeras apa kamu berusaha?" atau "sudah berapa banyak yang dikorbankan?...

Denial

Belakangan ini namamu sering sekali saya sebut. Tanpa sadar jika mengalami benturan keras dikepala, sepertinya namamu masih akan lekat. Perumpamaan yang terlalu klise bukan? Saya tidak pernah benar-benar terlintas mengenai begitu tajam dirimu menghujamkan asa. Menyeret namanya keluar dari zona nyaman dalam diri saya. Awalnya saya pikir dirimu terlalu sekehendak, maka saya serahkan stigma dengan kata "Suka-sukalah!". Peranan waktu dan pribadi yang open mind ternyata membawa ini terlalu dalam. Kata tak mungkin dan diri yang denial menjadi begitu kerap saya pertanyakan. "Apa yang salah dari saya?" atau "besok mungkin akan segera reda". Tapi, semakin hari malah semakin haus saya akan kabar darimu. Peristiwa ini berangsur-angsur membuat gila tanpa lagi jeda.