Posts

Showing posts from 2021

Pura-pura Tak Sengaja

 Aku bisa saja mewujudkan beribu-ribu temu denganmu, meski tak lama. Seperti pura-pura tak sengaja bertemu di angkutan umum, bahkan dibeberapa tempat yang kamu bagikan di laman sosial mediamu. Tapi, perihal pesan singkatmu yang tak kunjung menunjukan itikad baik, aku urungkan niat untuk "Pura-pura Tak Sengaja" itu. Ohiya, pikiranku jadi tertarik pada analisismu terhadap pertanyaan soal temu yang ternyata benar, kamu hanya sedang bertanya, begitu pun dengan jawabku yang semena-mena, hanya aku yang punya motif diantara rentetan kalimatnya. Mempunyai praduga atas sikapmu adalah perihal bodoh. Pertanyaan soal kabar, pernyataan yang membuncah asa, candaan yang membuat rona, sebagiannya mungkin hal lumrah bagimu, begitupun awalnya denganku. Namun, lambat laun aku meyakininya dengan perspektif berbeda, mesti baru hari-hari ini kutahu, itu tidak berlaku padamu. Tidak sedikitpun merubah stigmamu. dan kali ini pun aku sedang memilih untuk menjadi sadar. Terima kasih sudah menjadi setit...

Kata Klise dan Basi

Jika hari ini masih tak ada kabar baik, tak perlu riskan atau gusar.  Walau kalimat "Kita punya rencana, Tuhan yang mewujudkan" adalah bentuk motivasi paling klise dan basi. Namun, sepertinya beberapa hal selalu berujung membenarkan. Seperti halnya jika kamu mengingat tentang kemarin, saat kamu tertatih-tatih menahan peluh, sakit, remuk redam mewujudkan apa yang hari ini ada. Kamu lagi-lagi secara tak sadar mengiya, kan? Sama dengan kalimat "akan indah pada waktunya". Begitu jengah kamu mendengar motivasi amat klise itu, dimana-mana sembarang orang terlalu sering melontarkannya. Tak perduli putus cinta, putus cita, putus harap, putus asa, bahkan mati perasa. Manusia terlalu banyak bersandar pada kalimatnya. Tapi apakah kamu tahu tentang sesuatu yang belum terlalu matang kamu pikirkan? Kadang mungkin bukan hanya kamu tapi juga saya, adalah pernahkah kamu benar-benar bertanya "Sudah sekeras apa kamu berusaha?" atau "sudah berapa banyak yang dikorbankan?...

Denial

Belakangan ini namamu sering sekali saya sebut. Tanpa sadar jika mengalami benturan keras dikepala, sepertinya namamu masih akan lekat. Perumpamaan yang terlalu klise bukan? Saya tidak pernah benar-benar terlintas mengenai begitu tajam dirimu menghujamkan asa. Menyeret namanya keluar dari zona nyaman dalam diri saya. Awalnya saya pikir dirimu terlalu sekehendak, maka saya serahkan stigma dengan kata "Suka-sukalah!". Peranan waktu dan pribadi yang open mind ternyata membawa ini terlalu dalam. Kata tak mungkin dan diri yang denial menjadi begitu kerap saya pertanyakan. "Apa yang salah dari saya?" atau "besok mungkin akan segera reda". Tapi, semakin hari malah semakin haus saya akan kabar darimu. Peristiwa ini berangsur-angsur membuat gila tanpa lagi jeda.

Gila

 Saya pikir, saya telah begitu ikhlas dengan ritmenya. Menghadirkan tawa hambar sepanjang pantulan kaca. Memaklumi diri dengan kata "tidak apa-apa!" Menjejalkan lebih banyak kosa kata agar berbesar hati menerimanya. Berulang dan ulang. Dua sampai tiga hari kemudian. Makan tertawa, menjelang tidur delusi, saat bangun menangis. Semenit setelahnya, gila. Kemudian seperti biasa, waktu cepat berlalu terlintas dalam benak hamba yang mulai mati rasa.

Bukan Hanya Kamu

Pandemi membawa banyak dilema bagi umat.  Bukan hanya kamu hei, yang sedang Tuhan uji. Bukan hanya kamu yang tengah dirundung bertubi-tubi rindu untuk temu.  Bukan hanya kamu yang bosan dengan sepetak kamar indekosmu.  Bukan hanya kamu yang muak dengan semua hal terkait virtual.  Bukan hanya kamu yang dikuras dompetnya hanya untuk mencicipi manisnya Kesehatan.  Bukan hanya kamu yang pusing karna tidak punya pekerjaan.  Bukan hanya kamu yang menghitung hari menunggu keajaiban.  Bukan hanya kamu yang bertanya bagaimana akhirnya manusia melanjutkan kehidupan.  Bukan hanya kamu yang dibingungkan setiap kebijakan.  Bukan hanya kamu. Maka, sambil terus mempertahankan kekebalan badan, doa jangan pernah luput disertakan.  Semoga untuk banyak dilema yang menimpa, Tuhan beri sepaket jalan keluarnya. Bukan hanya untuk kamu, tapi semoga untuk kita dan dengan segera. 

Tidak Ada Alasan

Setiap kita dalam segala hal seperti diharuskan punya alasan. Entah alasan umum atau bahkan spesifik. Entah alasan sepele atau alasan nyeleneh. Bahkan lucunya, kita kerap kali mempertanyakan diri untuk hal-hal yang tengah bergulir atau bahkan tentang sesuatu yang telah lalu. "Mengapa begini atau mengapa begitu?" Namun apakah kamu pernah melewati malam dengan tangis tiba-tiba? Menghadapi hujan dengan murung bahkan ketika tidak sedang apa-apa? Melewati hari dengan berleha-leha saat tidak lelah? Membenci sesuatu saat tak pernah benar-benar tahu? Bahkan menyukai hal yang tidak dapat kamu definisikan dengan benar? Jika masih begitu, pertanyaan "mengapa?" dari orang lain, kamu berhak untuk tidak menjabarkan alasannya.

Semua akan yasudah pada waktunya

“Semua akan yasudah pada waktunya”. Idealis, ambisi, ekspektasi, tujuan, cita-cita bahkan angan seiring waktu semakin berujung yasudah. Idealis tergerus realistis. Ambisi terkubur delusi. Ekpektasi terbentur kondisi. Tujuan semakin sederhana. Cita-cita menilik kemampuan diri. Adapun angan, ada yang tetap disemogakan namun beberapa sudah banyak ditanggalkan. Semakin manusia menemukan dewasanya sesederhana diam tanpa melakukan apa-apa yang dia ingin. Semakin manusia menemukan sibuk, semakin besar grafitasi pertahanan kasurnya saat libur. Semakin manusia lelah, semakin banyak stok air mata yang membuncah. Hingga semakin lama manusia hanya perlu satu manusia lainnya untuk mengerti dari segi apapun mereka ingin diperlakukan serta dikategorikan berbeda, dan itupun berujung dengan "yasudah" mau bagaimana jalannya.  

Diluar Perasa Dirimu

  Kami pura-pura tidak tahu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak ada apa-apa. Alasannya adalah karena rasa. Semua hal sederhana tentang pertemuan, perjalanan, cerita, kini perlu kembali dikemas rapih. Perlu membungkam deru sana sini. Juga menyekat kata dari mana-mana. Kami perlu tatap mata yakin agar tak menumbuh cemburu. Kami seolah-olah benar mengangkat tangan akan sesuatu yang padahal betul-betul kami tahu. Kami saling bungkam untuk menyingkirkan patah satu sama lainnya. Sebenarnya ini semua apa? Harusnya konotasi kami diluar perasa dirimu adalah benar-benar bukan tanggung jawabmu, duhai diri. Kamu tidak perlu khawatir dan terlibat berlebih tentang bahagia dan sedih manusia lain. Sebab hakikat rasa, apapun itu kembali pada pemiliknya dan tanggung jawab terletak padanya bukan padamu.  

Eid Fitri

Dua kali fitri kita masih saja dengan suasana berbeda. Tanpa temu, tanpa sapa, tanpa tawa secara realita. Walau begitu, tanpa sepatah katapun manusia pernah punya salah. Diniati atau bahkan yang tidak disiasati.  Maka dari itu, dalam keadaan dan suasana apapun, maaf paling khidmat kuhantarkan atas segala ucap dan tingkah yang tidak pantas, atas segala perilaku sembrono yang menyinggung, atas segala opini yang kamu terlibat tak sengaja didalamnya, atas segala permintaan tolong tanpa sapaan, atas segala tindakan yang merepotkan, atas segala stigma tak benar yang terlanjur terlontar. Mohon maaf lahir & batin 🙏

Bahagia yang Tidak Sepadan

Beberapa hal kadang punya porsi tidak adil bagi kamu. Amarah, kesal, luka, sulit, rumit, atau bahkan bahagia yang tidak sepadan. Kadang beribu-ribu proses putus asa didalamnya tak kunjung membuat dirimu memperoleh seharusnya. Ujungnya kamu membanding, menguji validitas atas asumsi tak berdasar, mencari teman untuk menguatkan iya yang kamu tanam. Padahal, suara-suara itu tak mewakilkan stigma salah atau benar dari kebanyakan. Setelahnya kamu bergejolak dengan dirimu lainnya. Menyebut-nyebut ini adalah benar, namun sedetik kemudian ini adalah perkara salah. Untuk waktu cukup lama kamu menjabarkan perasa begitu sembrono. Beberan kamu benar! Namun kamu lupa bahwa perasa tak akan serta merta bisa direka. Kamu lupa perasa yang menghantarmu pada tangis tak berujung karna sakit bukan dari fisikmu. Kamu lupa sakit yang kamu tanggung bertaun-taun akibat perasamu tersentuh tanpa perasa. Kamu lupa mengambil hikmah atas apa yang menimpa. Kamu terlalu logis untuk seseorang yang pernah mengalaminya...

Terka

Terka nalar berlama-lama Jauh alasannya Terbatas Terjeda   Realita terkungkung Menyibak amat samar Samar-samar Teramat samar   Buta lalu menyakiti Tuli lalu menghardik Bisu lalu mencabik-cabik Cedera lalu mati   Tekad mengukuh Tetap sama yang dirasa Rapuh Bodoh Sesat

Klise

Masihkah kamu berminat menggantungkan harap pada insan? Aneh, kamu benar-benar lucu. Bukankah konsekuensinya telah berkali-kali kamu rasa?  Kamu klise, mengulang kembali sakit namun tak pernah sekalipun menganalisa. Itu atas perbuatanmu, dirimu tanpa atau secara impulsif. 

Tirani Khayal

  Pernah sekali waktu aku menyulusuri jalan yang kamu tunjuk. Sesuatu yang lambat laun kamu paradigmakan padaku. Sama seperti kali pertama terbangun dari tidur panjang, aku limbung, bingung, hingga semakin heran. Bak menyuguhkan segelas air tawar diatas lautan adalah percuma. Sama halnya aku denganmu. Dalam perlintasan yang kau tunjuk itu, aku terengah-engah, tersenggal-senggal, terseok-seok mengikuti arusmu. Kupikir tak akan masalah jika mendambaku menyusuri jalanmu, awalnya. Aku menggigihkan segala macam niat untuk terus setidaknya menyeret-nyeret kedua kakiku mengikutimu. Jabaran sifat yang mulai kau buka satu persatu semakin menjebakku dalam tirani khayalku. Menimbang hal-hal aneh tentang dirimu membuat sebentuk ruang lambat launnya. Kamu menegaskanku bahwasannya aku lebih dari cukup sebagai seorang ambisi, sebagai patokan untuk jadi berbeda adalah istimewa, sebagai seseorang yang kamu butuh dukung sepenuhnya. Namun, aku berkali-kali tersungkur hingga tak lagi punya nyali...

Korban Ekspektasi.

Image
Aku sulit bicara, kebebasannya sekedar undang-undang yang berseliweran di media atau sepatah pengertian dari manusia yang pura-pura mengerti. Aku membisu merayakan riuh sekalian remuk redam yang malah berkecamuk didalam. Sepi, kalimat-kalimat penyemangat atau sekedar kata tidak apa-apa tak pernah lagi jadi ampuh. Bahkan setelah genggaman tangan saling taut menaut menyalurkan kuat, aku malah semakin terisak. Sejurus kemudian dari sisiku laiinnya, aku menyumpah serapah keadaannya. Sial! Beberapa hal yang kamu lihat adalah aku, adalah lain dari sisinya. Deretan tawa serta banyaknya guyon, tak lagi dapat terlepas saat tak sekalipun manusia dipelupuk. Sekalipun kamu adalah yang paling tahu, sesungguhnya kamu selalu bisa aku kelabui. Detik yang terus seenaknya kesana kemari masih saja tak dapat mengerakan kepekaanmu. Kamu masih saja kosong, terkikis logis, dan berlebih rasa. Sampai untuk waktu paling terlama, kamu masih nihil tindakan. Jikapun tawaku ialah paling senonoh, tong koson...