Tirani Khayal

 

Pernah sekali waktu aku menyulusuri jalan yang kamu tunjuk. Sesuatu yang lambat laun kamu paradigmakan padaku. Sama seperti kali pertama terbangun dari tidur panjang, aku limbung, bingung, hingga semakin heran. Bak menyuguhkan segelas air tawar diatas lautan adalah percuma. Sama halnya aku denganmu. Dalam perlintasan yang kau tunjuk itu, aku terengah-engah, tersenggal-senggal, terseok-seok mengikuti arusmu.

Kupikir tak akan masalah jika mendambaku menyusuri jalanmu, awalnya. Aku menggigihkan segala macam niat untuk terus setidaknya menyeret-nyeret kedua kakiku mengikutimu. Jabaran sifat yang mulai kau buka satu persatu semakin menjebakku dalam tirani khayalku. Menimbang hal-hal aneh tentang dirimu membuat sebentuk ruang lambat launnya. Kamu menegaskanku bahwasannya aku lebih dari cukup sebagai seorang ambisi, sebagai patokan untuk jadi berbeda adalah istimewa, sebagai seseorang yang kamu butuh dukung sepenuhnya.

Namun, aku berkali-kali tersungkur hingga tak lagi punya nyali bahkan ambisi. Selama itu, kamu pura pura tak membaca. Bahkan jikapun kamu tau binar mataku tak lagi ada, kamu tak pernah berusaha sekalipun datang menemuinya, lebih sedikitnya berusaha menanyakan kubawa kemana binarnya. Tak ada!

Bahkan akhir-akhir ini kamu sedang gemar-gemarnya berlari. Si pejalan yang menyeret-nyeret kedua kakinya itu, kau tahu? Ia mati. Mati raga, mati rasa, mati impian, mati harapan. Pun sampai kematiannya terealisasi lebih dalam, kamu hanya meninggalkan jejak yang membuatnya bertambah lebam. Pun sampai sini, barulah aku paham, bahwa yang mati bukanlah aku, tapi hatimu.

Comments

Popular posts from this blog

Ayah.

Pertalian

Untuk Diri serta Duplikatnya