Mimpi Anak Kecil dalam Dirinya

Pada suatu kegabutan yang menjerat dan segala sesuatu telah usai dikerjakan, core memori sial (dengan nada lembut) bejibun meminta diurai dengan detail bersamaan dengan maknanya, padahal sudah usang kejadiannya. Menyebalkan!

Satu kalimat yang terlintas waktu magrib hari itu, yaitu perkataan nyeleneh dan sakit yang keluar lewat mulut seorang yang katanya salah satu tiket surga bagi saya, Bapak. Samar perkataan itu saya dengar kala itu, nadanya marah, sedangkan dia disisi kamar lain sedikit berteriak. Samar tak jelas satu persatu ejaan perkataan sampai pada akhir kalimatnya saya tertegun. Menahan nafas sampai sesak menjalar dari hati lalu ke mata yang menimbulkan tangis sejadi-jadinya. Inti dari perkataan dalam nada marahnya, saya adalah seorang anak yang tidak tahu terima kasih. Ucapan itu saya dengar saat baru saja saya menerima pinangan seorang lelaki yang bahkan aroma dan riuhnya tamu malam itu belum berlalu pergi barang sejam-dua jam.

Jika memang tidak tahu terima kasih terucap saat marahnya, saya beberkan ini dengan beribu kali berpikir dan tangis. 

Menahan malu saat ditagih kekurangan ongkos pergi dan pulang sekolah, menahan lapar karna uang sekolah hanya cukup untuk ongkos, meminjam uang pada teman saat ada pembayaran lain diluar iuran bulanan sekolah, dibayari teman kelas untuk praktik renang sekolah, dibelikan rok SMA oleh teman yang baru saja kenal, jalan kaki terminal-kampus karna tak bisa membayar ojek online yang mahal, ujian tengah malam di Kampus sebab tak ada paket internet, pergi pulang dalam perjalanan dua-tiga jam sebab tak diperbolehkan menyewa kamar indekos, tak pernah sekalipun dibelikan ponsel, dibelikan tas saat kenaikan kelas oleh teman sebab tas lama robeknya tak tertolong. Marangkak-rangkak untuk terus menempuh sekolah dan sekolah dengan gaji UMR pas-pasan sampai tak bisa memberinya uang. 

Perkataan orang lain sekenanya saja "keren!" terhadap semua yang dilalui itu, padahal sampai hari ini, sampai bertambah dua gelar di belakang nama, saya masih bingung ini mimpi siapa. Saya manusia yang dirancangnya sebagai pewujud mimpi anak kecil dalam dirinya bukan? Setelah sejauh ini. Dan yang berterima kasih dalam prosesnya adalah hanya saya. Bukankah sejauh ini pada pikir yang logis, dua-duanya harusnya berterima kasih dan jika pada faktanya "gengsi" setinggi itu, diam dengan perasaan sama-sama tahu bukankah yasudah?

Dalam dua sore yang lagi-lagi mengurai air mata sesenggukan, bantu saya untuk benar-benar memaafkan lelaki hebat itu, Tuhan. Bantu untuk tetap memaknainya sebagai cinta pertama saya. Pun juga maaf belum sepenuhnya menjadi perwujudan ekspektasi.

Comments

Popular posts from this blog

Ayah.

Pertalian

Untuk Diri serta Duplikatnya