Posts

Permainan Manusia

Aku terkatung-katung dilingkar waktu Analisa-analisa sekedar kata Mata teduh, jiwa ambisi Orang-orang awam sepertiku makin tertipu Aku menghela napas Lagi-lagi menghela Aku ampun mendengar kabar dibalik sampul Tindas menindas adalah lumrah Manis tutur Anggun bahasa Nyatanya racun tepat diujung lidah Tuhan, aku bosan dengan permainan manusia Tak apa aku tak tahu huru-hara Asal badanku kelak tak dihisab terlalu lama

Sudah yak!

Image
6 November 2019 Jauh sebelum kejadian itu kembali terulang, aku telah maklum pada dosamu yang itu-itu lagi. Aku harap sementara ini kau buat jeda. Tak perlu tanya aku dimana, bahkan tak usah lagi menjunjungkan maaf apalagi jika kebetulan kita bersua. Sebab aku ulangi, aku telah maklum. Telah hatam pada dosamu yang bahkan aku yakini kedepannya akan terjadi lagi. Aku bukan marah atau bahkan membenci. Aku hanya sedang kecewa pada diri dan sedang mencoba membaca situasi. Pada kenyataannya saat kemarin, aku yang bodoh. Berpikir pendek, lantas ceroboh untuk sekedar menaruh harap. Jadi, tak perlulah menyapaku berlebih di whatsapp . Tak perlu merendah. Tak perlu lagi membujuk dengan kata-katamu yang manis. Tak perlu membumbui statusmu seolah kau masih menyesali. Sudah yak, kita seharusnya berhenti peduli pada apa-apa yang menguras energi, Termasuk kejadian yang kemarin pagi. Namun pada kesempatan ini aku hanya ingin mewanti, jika kelak kau temui wanita yang amat men...

Seberapa Luka yang Bisa Ku Terima

Jangankan dirumahmu, dirumahku saja sama sepinya. Jika kasarnya ibu dan bapakku seorang penuntut, mereka pasti akan secara terang-terangan meminta seorang penghuni baru pada anak-anaknya. Apalagi pada abangku, yang notabene sudah dapat dikatakan mampu untuk menjalin ikatan pernikahan. Ah tapi aku tahu, pun aku bukan ingin mencibirmu. Usia kita sama. Sama-sama sedang menjalani peranan sebagai manusia berkepala dua. Namun sayangnya, usia hanya soal angka. Yang terlihat darimu adalah beribu-ribu persembunyian luka. Namun kumohon, opinimu jangan terlalu dibawa asa. Aku baru memulainya, jangan membuat aku goyah dengan apa yang saat ini aku terima. Sebab aku ingin tahu, seberapa luka yang bisa ku terima dan menjalaninya persis seperti yang telah kau jalani sebelumnya. Sebelum akhirnya kau memilih memutarkan paradigma untuk kembali merangkai semua seperti semula. Jadi kumohon, semangati saja orang-orang yang tengah berani mengambil langkah.

Rindu Kepulangan

Sabtu pukul dini hari saat bus melaju dan saat teman disebelahku pulas menikmati perjalanan lewat tidurnya, aku hanya tertegun. Mataku menembus pandang pada jendela yang gordengnya sengaja dikibakkan. Kosong. Jasadku hendak kemana, begitupun pikirku berpendar kemana-kemana. Ini awalnya, saat bersiap mengemas barang sekenanya untuk pergi, aku dikirimi pesan singkat dari lelaki yang amat mencintaiku. Bapak, yaa lelaki itu Bapak. Begini bunyinya " Kata Ibumu, akankah pulang sabtu ini? "  k urang lebih begitu isi pesannya. Aku membalasnya tanpa pamit hendak akan kemana. Aku hanya beralasan yang ujungnya takku terima balasan sepanjang perjalanan. Sebab itu aku kalut, sabtu dini hari itu ialah saat rasa sedang digoyahkan. Kilasan bayang-bayang menyeruak menjadi layar yang memunculkan nalar seolah menyuarakan jikalau aku rindu. Rindu pada kepulangan.

Kemarin

Selamat malam jiwa-jiwa yang lelah.. Walau begitu, semoga sukurmu selalu menjamah-Nya. Malam ini keringatku bercucuran, persis kali terakhir aku jatuh sakit 3-4 tahun lalu, seperti itu. Disini gerah, udaranya panas, bising, dan belum sekalipun terjamah air hujan kala hampir dua minggu aku menetap. Aku rindu pada selimut yang tak sekalipun ku tinggali kala disana, rindu pada bantal yang akhirnya ku ikhlaskan terdiam, dan rindu melihat pagi yang memantulkan cahaya berduyun-duyun masuk jendela. Begitupun rindu pada kedua manusia paruh baya yang ada di dalamnya. Ya.. Ibu dan Bapa Kemarin aku mencuri waktu, pun jua mencuri tempat. Aku melankolis dan berujung tangis. Aku histeris dalam kamar mandi yang riuh karna air yang sengaja di nyalakan. Ada sakit yang mencabik, pun ada tanya yang membungkam. Aku heran tak kepalang, musabab apa aku semelodrama itu. Ku cabik-cabik rasa, sekalipun tak berujung reda. Ya.. Kali ini baru ku tahu...

Semoga Waktu

Hari ini dan kemarin aku disibukan dengan perpindahan. Ya.. Pindah, Menyisakan hanya Ibu Bapak pada hari-hari menjelang masa tuanya dikedua rumah mereka. Pilu. Kemarin aku bersorak-sorak meneriaki waktu, menantangnya jikalau aku takkan pernah pilu pada jarak, pada jeda, dan sekaligus padanya --waktu. Sehari-dua hari ku taksir akan kalap. Ah jangan. Doakan tak akan sekalipun yak, kawan. Semoga. Kemarin pun aku menentang jarak, sebab aku benci pada sesuatu yang telah nyaman namun akhirnya menimbulkan pilu mendalam. Pun aku benci sesuatu yang membuat tertahan, sebab amat menyisakan ngilu saat perpisahan. Ya.. Musabab itu aku selalu mencoba menghindar dari keadaan. Musabab itu, aku menolak asing dan kembali diasingkan. Namun, sekuat apapun hati menolak, ada tuntutan yang harus disegerakan, entah untuk aku, orang lain, bahkan kamu. Ya.. semoga waktu berbaik hati untuk segera menyembuhkan. Bukan hanya aku, pun jua kamu yang sedang berjuang tapi terhalang keadaan dari orang-or...

Apa Tak Akan Pernah Lagi?

Apa tak akan pernah lagi diadegankan temu? Kemarin-kemarin mengeluh rindu, tapi masing-masingnya cuma modal gerutu Apa tak akan pernah lagi memadukan canda? Dulu amat suka bersama, kini melihat saja responnya biasa Apa tak akan pernah lagi merayakan suka? Berbangga-bangga soal cita rasa, padahal tak ada yang benar-benar bisa Apa tak akan pernah lagi mengadu luka? Biar sama-sama menanggung duka, dan kembali menyumpah serapahnya hingga tertawa Ah.. Apa tak akan pernah lagi kembali? Sedang hati amat iri pada situasi yang masih orang lain jalani Ah .. Apa tak akan pernah lagi?