Posts

Semua akan yasudah pada waktunya

“Semua akan yasudah pada waktunya”. Idealis, ambisi, ekspektasi, tujuan, cita-cita bahkan angan seiring waktu semakin berujung yasudah. Idealis tergerus realistis. Ambisi terkubur delusi. Ekpektasi terbentur kondisi. Tujuan semakin sederhana. Cita-cita menilik kemampuan diri. Adapun angan, ada yang tetap disemogakan namun beberapa sudah banyak ditanggalkan. Semakin manusia menemukan dewasanya sesederhana diam tanpa melakukan apa-apa yang dia ingin. Semakin manusia menemukan sibuk, semakin besar grafitasi pertahanan kasurnya saat libur. Semakin manusia lelah, semakin banyak stok air mata yang membuncah. Hingga semakin lama manusia hanya perlu satu manusia lainnya untuk mengerti dari segi apapun mereka ingin diperlakukan serta dikategorikan berbeda, dan itupun berujung dengan "yasudah" mau bagaimana jalannya.  

Diluar Perasa Dirimu

  Kami pura-pura tidak tahu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak ada apa-apa. Alasannya adalah karena rasa. Semua hal sederhana tentang pertemuan, perjalanan, cerita, kini perlu kembali dikemas rapih. Perlu membungkam deru sana sini. Juga menyekat kata dari mana-mana. Kami perlu tatap mata yakin agar tak menumbuh cemburu. Kami seolah-olah benar mengangkat tangan akan sesuatu yang padahal betul-betul kami tahu. Kami saling bungkam untuk menyingkirkan patah satu sama lainnya. Sebenarnya ini semua apa? Harusnya konotasi kami diluar perasa dirimu adalah benar-benar bukan tanggung jawabmu, duhai diri. Kamu tidak perlu khawatir dan terlibat berlebih tentang bahagia dan sedih manusia lain. Sebab hakikat rasa, apapun itu kembali pada pemiliknya dan tanggung jawab terletak padanya bukan padamu.  

Eid Fitri

Dua kali fitri kita masih saja dengan suasana berbeda. Tanpa temu, tanpa sapa, tanpa tawa secara realita. Walau begitu, tanpa sepatah katapun manusia pernah punya salah. Diniati atau bahkan yang tidak disiasati.  Maka dari itu, dalam keadaan dan suasana apapun, maaf paling khidmat kuhantarkan atas segala ucap dan tingkah yang tidak pantas, atas segala perilaku sembrono yang menyinggung, atas segala opini yang kamu terlibat tak sengaja didalamnya, atas segala permintaan tolong tanpa sapaan, atas segala tindakan yang merepotkan, atas segala stigma tak benar yang terlanjur terlontar. Mohon maaf lahir & batin 🙏

Bahagia yang Tidak Sepadan

Beberapa hal kadang punya porsi tidak adil bagi kamu. Amarah, kesal, luka, sulit, rumit, atau bahkan bahagia yang tidak sepadan. Kadang beribu-ribu proses putus asa didalamnya tak kunjung membuat dirimu memperoleh seharusnya. Ujungnya kamu membanding, menguji validitas atas asumsi tak berdasar, mencari teman untuk menguatkan iya yang kamu tanam. Padahal, suara-suara itu tak mewakilkan stigma salah atau benar dari kebanyakan. Setelahnya kamu bergejolak dengan dirimu lainnya. Menyebut-nyebut ini adalah benar, namun sedetik kemudian ini adalah perkara salah. Untuk waktu cukup lama kamu menjabarkan perasa begitu sembrono. Beberan kamu benar! Namun kamu lupa bahwa perasa tak akan serta merta bisa direka. Kamu lupa perasa yang menghantarmu pada tangis tak berujung karna sakit bukan dari fisikmu. Kamu lupa sakit yang kamu tanggung bertaun-taun akibat perasamu tersentuh tanpa perasa. Kamu lupa mengambil hikmah atas apa yang menimpa. Kamu terlalu logis untuk seseorang yang pernah mengalaminya...

Terka

Terka nalar berlama-lama Jauh alasannya Terbatas Terjeda   Realita terkungkung Menyibak amat samar Samar-samar Teramat samar   Buta lalu menyakiti Tuli lalu menghardik Bisu lalu mencabik-cabik Cedera lalu mati   Tekad mengukuh Tetap sama yang dirasa Rapuh Bodoh Sesat

Klise

Masihkah kamu berminat menggantungkan harap pada insan? Aneh, kamu benar-benar lucu. Bukankah konsekuensinya telah berkali-kali kamu rasa?  Kamu klise, mengulang kembali sakit namun tak pernah sekalipun menganalisa. Itu atas perbuatanmu, dirimu tanpa atau secara impulsif. 

Tirani Khayal

  Pernah sekali waktu aku menyulusuri jalan yang kamu tunjuk. Sesuatu yang lambat laun kamu paradigmakan padaku. Sama seperti kali pertama terbangun dari tidur panjang, aku limbung, bingung, hingga semakin heran. Bak menyuguhkan segelas air tawar diatas lautan adalah percuma. Sama halnya aku denganmu. Dalam perlintasan yang kau tunjuk itu, aku terengah-engah, tersenggal-senggal, terseok-seok mengikuti arusmu. Kupikir tak akan masalah jika mendambaku menyusuri jalanmu, awalnya. Aku menggigihkan segala macam niat untuk terus setidaknya menyeret-nyeret kedua kakiku mengikutimu. Jabaran sifat yang mulai kau buka satu persatu semakin menjebakku dalam tirani khayalku. Menimbang hal-hal aneh tentang dirimu membuat sebentuk ruang lambat launnya. Kamu menegaskanku bahwasannya aku lebih dari cukup sebagai seorang ambisi, sebagai patokan untuk jadi berbeda adalah istimewa, sebagai seseorang yang kamu butuh dukung sepenuhnya. Namun, aku berkali-kali tersungkur hingga tak lagi punya nyali...