Pada yang Berhak
Mengenalnya dengan visual saat ini adalah sempurna. Tak perlulah rasa suka atau cinta yang terkontaminasi dengan iba. Tak perlu nuansa dramatis. Tak perlu pula kekang berlebih sana sini. Sebab saat ini, kita telah menjadi manusia versi terbaik kita sepanjang siklus diri, dan sampai saat kita hanya saling menutup mata sekaligus telinga.
Hingga pada waktu diperdengarkan lalu-lalu yang benalu, kita tak pernah mau menerima seluas itu. Diasingkanlah dari benak saat pertama kali. Barulah didengarnya tanpa tanggapan berarti untuk kedua kali. Dicerna sedemikian pahit saat ketiga kali. Kelima-keenam, disandingkannya dengan kenyataan saat ini. Sampai hitungan kesepuluh penerimaan barulah sampai.
Penerimaan membentuk hiperbola tentang iba. Sekilas menjatuhkan realitas perasaan cinta menjadi tak tahu kemana arahnya. Kita berujung pada pertanyaan "Apakah benar kita saling-saling mencinta?". Menyalahkan diri, membodoh-bodohi, dan dramatisasi mulai dimainkan.
Setelah tersingkap apa yang seharusnya tak bercakap. Bukankah pengakuan begitu tidak berguna. Bukankah penghambaan jauh dari terlambat. Akhirnya, "buang nama saya dari daftar prioritasmu!". Bukankah amat tidak pantas tempat ini untuk manusia seperti saya. Bukankah tempat ini peluang bagi dia yang paling menerimamu pada pesakitan diawal.
Visualmu saat ini ternyata gambaran bahwa telah sempurnanya prosesmu tanpa saya didalamnya. Sudah ya! saya beri pada yang hak mendampingimu.
Kalideres, 26 Oktober 2022
Comments
Post a Comment